Kamis, 06 April 2017

Resume Jurnal

Judul Jurnal : Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for Indonesia
Judul : Malaysian Journal of Communication
Tahun : 2017
Penulis : Rachmat Kriyantono, Bernard Mckenna
Reviwer : Renitha Arma Sari

Tulisan ini berisi review saya terhadap jurnal yang berjudul Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for Indonesia. Jurnal yang ditulis oleh Rachmat Kriyantono dan Bernard Mckenna ini membahas tentang bagaimana public relations dilihat dari perspektif Indonesia. Selama ini, teori yang digunakan lebih banyak berasal dari teori-teori barat, yang beberapa diantaranya apabila diaplikasikan di Indonesia menghasilkan hasil yang berbeda, karena adanya perbedaan sistem sosial dan latar belakang filosofis, sedangkan tidak ada teori yang datang dari perspektif Indonesia karena kurangnya eksplorasi kearifan lokal yang menjadi dasar untuk membangun teori yang relevan dengan konteks Indonesia.  Jurnal ini bertujuan untuk merangsang perkembangan teori public relations dengan mengadopsi kearifan lokal Indonesia, kolaborasi teoritis Indonesia-Barat, dan refleksi kritis pada teori Barat.
1. Dominasi Perspektif Barat
Dalam jurnal ini disebutkan beberapa penelitian, seperti penelitian dari Dissayanake (1998) yang mengungkapkan bahwa 71 persen bahan pengajaran komunikasi yang digunakan di Asia Timur berasal dari Amerika, sedangkan di Asia Selatan persentasi yang lebih tinggi ditemukan, yakni 78 persen. Selain itu, tidak ada ilmuwan Asia yang berada di daftar ketika Rogers (1997) menulis sejarah studi komunikasi, semua berasal dari Amerika Serikat dan Eropa (paragraf 4, halaman 2).
Dari pernyataan tersebut bisa dikatakan bahwa teori untuk komunikasi yang berasal dari perspektif Asia jarang digunakan atau bahkan tidak digunakan, sama halnya dengan public relation, namun seperti yang tertulis dalam jurnal ini, sudah ada beberapa negara Asia yang menciptakan teori dengan perspektif mereka sendiri.Ayish (2003); Dissayanake (2003); Gunaratne (2009); Raharjo (2013), telah menemukan bahwa beberapa negara Asia telah menciptakan teori-teori komunikasi dari perspektif mereka sendiri, seperti Teori Komunikasi Cina, Teori Komunikasi India, Chinese Harmony Theory, Teori Komunikasi Konghucu, Teori Kuuki Jepang, dan Teori Komunikasi Tao (paragraf 2, halaman 3).
Bagaimana dengan Indonesia? Meskipun sama-sama berasal dari Asia, Indonesia sama sekali tidak mempunyai teori yang berasal dari persektif mereka sendiri, dalam jurnal ini juga disebutkan mengapa teori-teori barat dapat menjamur di Indonesia, yakni, keterlambatan pendidikan pribumi Indonesia karena penjajahan selama berabad-abad (sekitar 350 tahun) telah memberikan pengaruh kolonisasi yang mendalam. Kedua, sistem otoriter politik di bawah rezim pertama Presiden Soekarno (1945-1966) dan rezim kedua Presiden Soeharto (1966-1998) menahan kebebasan berbicara. Ketiga, sedikitnya studi publikasi public relations internasional dari perspektif Indonesia, sehingga tidak ada dasar umum. Keempat, karena bahasa Inggris adalah bahasa yang dominan dari penelitian komunikasi, orientasi Anglophone telah mendominasi penelitian, dan yang terakhir, banyaknya sarjana Indonesia telah belajar di negara-negara Barat, seperti Australia, Amerika Serikat, Inggris, Perancis atau Jerman mereka telah dilantik menjadi perspektif Barat (paragraf 1, halaman 5).
Point terakhir dapat ditemukan dengan mudah di universitas-universitas di Indonesia. Sarjana-sarjana Indonesia yang belajar di luar negeri, kembali ke tanah air dengan membawa perspektif Barat, hal ini kemudian diajarkan kembali ke mahasiswa-mahasiswa mereka, terus seperti itu sehingga menimbulkan menjamurnya teori Barat di Indonesia. Teori-teori yang diajarkan di kelas teori komunikasi maupun public relations lebih banyak mengajarkan teori Barat, sangat jarang teori dengan perspektif Asia disebutkan, sehingga secara tidak langsung mahasiswa menganggap bahwa teori Barat saja cukup untuk mempelajari komunikasi.
2. Hasil dan Diskusi
Dalam jurnal ini dibahas bahwa mengekplorasi kearifan lokal menjadi salah satu dasar untuk membangun sebuah teori, di Indonesia sendiri kearifan lokal adalah panduan dalam berkomunikasi dan berinteraksi di kehidupan sosial, sehingga dalam jurnal ini terdapat tema-tema yang muncul dari kearifan lokal tersebut yang harus dipromosikan untuk mengembangkan teori public relations yang sesuai dengan konteks budaya Indonesia.
a. Musyawarah mufakat untuk membuat keputusan di Indonesia
Kearifan lokal ini konsisten dengan two-way symmetric model, yakni seperti yang dijelaskan di excellent theory, fungsi komunikasi sebagai alat negosiasi untuk menciptakan solusi yang pas bagi satu sama lain, dalam musyawarah mufakat keputusan dibuat dengan diskusi.
b. Menjaga hubungan timbal balik yang didasarkan pada harmoni dalam sistem
Sebagai bagian dari sistem sosial, proses public relations harus mengarahkan organisasi untuk mencapai harmoni dalam sistem di mana ia beroperasi Organisasi harus positif dalam sikapnya terhadap masyarakat, termasuk pesaing dan kelompok penekan terlepas dari apakah mereka mendukung atau menentang organisasi. Mereka harus dianggap sebagai teman dan mitra.
c. Perspektif Indonesia untuk Deklarasi Prinsip (Katakan Kebenaran)
Pentingnya mengatakan yang sebenarnya direpresentasikan dalam jeung leweh mah memperbaiki waleh (lebih baik untuk mengatakan sesuatu terus terang daripada menjaga kata karena tidak cukup berani untuk memberitahu). Public relations tidak perlu takut untuk dipecat oleh perusahaan, jika organisasi melakukan perbuatan yang salah, maka public relations akan memberikan saran berdasarkan sikap ulah unggut kalinduan, ulah gedag kaanginan, yang berarti bahwa harus ada konsistensi dalam kebenaran dan kesesuaian antara batin-diri dan rasionalitas. Kuncinya adalah menggunakan pilihan kata yang tepat kepada organisasi dan publik tanpa harus mempermalukan keduanya.
d. Blusukan sebagai alat untuk berkomunikasi
Teori barat seperti halo effect dan primacy effect memiliki kesejajaran dengan keyakinan Indonesia. Halo effect yakni persepsi kita pada suatu objek dipengaruhi oleh kinerja objek tersebut sedangkan primacy effect adalah persepsi kita ditentukan dengan bagaimana kita melihat image pertama objek tersebut.
Tingkah laku karyawan suatu perusahaan berkontribusi dalam menciptakan image perusahaan terhadap masyarakat.
Sebagai fasilitator komunikasi, public relations dianggap terlibat dalam interaksi sehari-hari karyawan, berbicara dan mendengarkan keluhan atau pendapat. Kegiatan ini diharapkan dapat membuka dua arah komunikasi internal yang mampu memberikan informasi tentang interaksi karyawan dengan publik. Interaksi karyawan dengan publik adalah berdasarkan konsep blusukan yakni komunikasi tatap muka langsung dengan publik. Komunikasi tersebut bertujuan untuk menghindari divergensi interpersonal, jadi komunikasi sambung roso akan muncul, di mana sambung roso berarti dari hati ke hati yang terdiri dari empati yang kuat. komunikasi Blusukan juga merupakan prinsip kebersamaan tanpa perbedaan Status (manunggaling kawula gusti). Dengan menggunakan blusukan, organisasi dapat menerapkan secara langsung ghetok tular (informasi dari mulut ke mulut) untuk mengurangi misperception.
3. Penutup
Secara umum jurnal yang ditulis oleh Kriyantono dan Mckenna ini dapat memberikan pengetahuan baru tentang bagaimana komunikasi dapat dilihat dari perspektif Indonesia, tulisan ini juga dapat digunakan untuk merangsang terbentuknya teori public relations yang sesuai dengan konteks budaya Indonesia. Untuk memahami cara komunikasi yang sesuai dengan konteks budaya Indonesia, ada baiknya apabila penulis membuat perbandingan dengan budaya Indonesia yang lainnya, karena sama halnya dengan teori Barat yang dapat menjadi berbeda apabila diaplikasikan di Indonesia, komunikasi dengan konteks budaya Jawa dapat menjadi berbeda apabila diaplikasikan dalam konteks budaya Indonesia yang lainnya.








Daftar Pustaka
Kriyantono, R. & Mckenna, B. (2017). Developing a culturally-relevant public relations theory for indonesia. Jurnal Komunikasi Malaysian Journal of Communication, 33(1), 1-16.

Minggu, 02 April 2017

analisis kampanye PR menggunakan formula PENCILS


PERAN PUBLISITAS DALAM AKTIVITAS PUBLIC RELATIONS
(Analisis program kampanye Wisata Sejarah Berbasis Fun Education di Candi Sumberawan berdasarkan formula PENCILS)




Disusun oleh:
Renitha Arma Sari (155120201111017)

Dosen pengampu:
Rachmat Kriyantono, Ph. D.



ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG – 2017







BAB I
Pendahuluan

Kampanye public relations yang diangkat dalam tulisan ini ialah program kampanye wisata sejarah berbasis fun educations di Candi Sumberawan Malang, Jawa Timur. Dibuatnya tulisan ini bertujuan untuk menganalisis program kampanye sesuai dengan lingkup kerja public relations menggunakan formula PENCILS yang terdiri dari Publication & Publicity, Events, News, Community involvement, Identity media, Lobbying, dan Social investment. Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk lebih mengenal lingkup kerja public relations yang dirumuskan dalam formula PENCILS dan juga dapat menambah wawasan penulis.




BAB II
2.1. Fungsi Public Relations
Public relations menurut John E. Marston dalam buku Public Relation Writing, Kriyantono (2008), adalah kegiatan komunikasi persuasif atau terencana yang didesain untuk memengaruhi publik yang signifikan.
Berikut fungsi public relations secara garis besar (Kriyantono, 2008) :
a. Memelihara komunikasi yang harmonis antara perusahaan dan publiknya (mantain good  communication).
b. Melayani kepentingan publik dengan baik ( serve public’s interest).
c. Memelihara perilku dan moralitas perusahaan dengan baik (mantain good morals & manners).
Sedangkan Cutip & Center menyebut fungsi public relations sebagai berikut :
Menunjang kegiatan manajemen dan mencapai tujuan organisasi.
Menciptakan komunikasi dua arah secara timbal balik dengan menyebarkan informasi dari perusahaan kepada publik dan menyalurkan opini publik kepada perusahaan.
Melayani publik dan memberikan nasihat kepada pimpinan perusahaan untuk kepentingan umum.
Membina hubungan secara harmonis antara perusahaan dan publik, baik internal maupun eksternal.

2.2. Publisitas
Publisitas adalah publikasi perusahaan yang dimuat di media massa (Kriyantono,2016). Publisitas adalah kegiatan untuk menyebarluaskan informasi tentang perusahaan kepada publik, yang di lakukan di media massa oleh media. Publisitas tidak dilakukan oleh perushaan dengan sengaja, berbeda dengan publikasi. Publikasi adalah kegiatan mengenalkan perusahaan sehingga umun (publik dan masyarakat) dapat mengenalnya (Kriyantono,2016). Publikasi dilakukan oleh perusahaan dengan sengaja, contohnya seperti iklan.
Berikut keuntungan dan kekurangan publisitas yang dikutip dari Kriyantono (2008), antara lain :
1. Keuntungan Publisitas
Publisitas mengandung kredibilitas tinggi di mata khalayak media (high credibility)
Khalayak lebih memercayai informasi publisitas daripada informasi yang disediakan langsung oleh perusahaan, karena menurut khalayak informasi yang diberikan media adalah fakta dan media dianggap sebagai sumber informasi yang terpercaya. Khalayak lebih mempercayai jika orang lain yang memberikan informasi tentang suatu perusahaan dibanding dengan perusahaan itu sendiri yang memberikan informasi.
Publisitas tidak membayar (nonpaid form of communication/ no media cost)
Perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya karena media yang menyediakan kolom surat kabar ataupun slot waktu  radio dan televisi.
Publisitas memungkinkan cerita lebih detail tentang produk dan perusahaan
Karena penyajian berita publisitas menggunakan format 5W+1H (what, who, where, when, why, how).
Dapat menjelaskan “cacat produk” (crisis-response)
Melalui publisitas, perusahaan dapat mengatasi masalah cacat produk. Ketika suatu perusahaan diterpa masalah atau isu, akan lebih mudah untuk perusahaan mengembalikan citra mereka dengan melakukan publisitas daripada iklan.

2. Kekurangan Publisitas
Tidak dapat dikontrol (no control over the message)
Karena sifatnya tidak membayar maka perusahaan tidak memiliki kontrol akan kapan, dimana dan bagaimana berita tersebut dimuat.
Tidak dapat mengontrol jenis informasi yang dimuat
Perusahaan juga tidak dapat mengontrol informasi apa saja yang akan dimuat oleh media. Tidak selamanya berita yang dimuat oleh media berupa berita positif, bisa saja berita yang dimuat ialah berita negatif tentang perusahaan.
Nonpersonal communication
Publisitas bersifat satu arah, sehingga khalayak hanya bisa membaca atau melihat tanpa ada interaksi langsung.
Terdpat beberapa jenis-jenis publisitas yang dapat dilihat berdasarkan sumber, berdasarkan dampak dan berdasarkan kejadian, seperti yang dikutip dari Kriyantono (2008).
1. Berdasarkan Sumber
Publisitas lisan
Publisitas yang bersumber dari pernyataan lisan, misalnya wawancara yang dilakukan wartawan dengan public relations.
Publisitas tulisan
Publisitas yang bersumber dari tulisan atau informasi yang dibuat oleh public relations, contohnya press release.
2. Berdasarkan Dampak
Publisitas positif
Publisitas yang memunculkan dampak positif bagi perusahaan, contohnya mahasiswa UMM membuat kampung warna-warni yang menjadi objek wisata terbaru yang sering dikunjungi oleh masyarakat, sehingga secara tidak langsung nama UMM mendapatkan citra yang baik di mata masyarakat.
Publisitas negtif
Publisitas yang mengandung dampak negatif bagi perusahaan.
3. Berdasarkan Kejadian
Publisitas yang direncanakan
Publisitas yang berasal dari event  yang diselenggarakan oleh public relations.
Publisitas yang tidak direncanakan
Publisitas tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi secara spontan, misalnya kecelakaan kerja.

2.3. Kampanye
Ardianto, dalam bukunya yang berjudul “Handbook of PR” menjelaskan bahwa public relations memiliki fungsi dan tugas menghasilkan publisitas untuk mendapatkan opini dan citra positif dari publik untuk organisasi atau perusahaan. Publisitas ini pun bisa melalui events, campaign, dan programs (Ardianto, Handbook of Public Relations, 2011,p: 261).
Kampanya dalam public relations seperti menurut Rogers dan Storey sebagai serangkaian kegiatan komunikasi yang terorganisasi dengan tujuan untuk menciptakan dampak tertentu terhadap sebagaian besar khalayak sasaran secara berkelanjutan dalam periode waktu tertentu.

2.4. Ruang Lingkup Pekerjaan Public Relations
Secara sederhan, pekerjaan yang biasa dilakukan public relations dapat disingkat menjadi PENCILS, yaitu (Kriyantono, 2008) :
a. Publication & Publicity, yaitu mengenalkan perusahaan kepada publik. Misalnya membuat tulisan yang disebarkan ke media, newsletter, artikel, dan lainnya.
b. Events, mengorganisasi events atau kegiatan sebagai membentuk citra.
c. News, pekerjaan seorang public relations adalah menghasilkan produk-produk tulian yang sifatnya menyebarkan informasi kepada publik, seperti press release, newsletter, berita dan lain-lain. Karena itu, dituntut menguasai teknik-teknik menulis (public relations writing).
d. Community involvement, public relations mesti membuat program-program yang ditujukan untuk menciptakan keterlibatan komunitas atau masyarakat sekitarnya.
e. Identity-Media, merupakan pekerjaan public relations dalam membina hubungan dengan media (pers). Sangat penting untuk memperoleh publisitas media. Media adalah mitra kerja abadi public relations. Media butuh public relations sebagai sumber berita dan public relations butuh media sebagai sarana penyebar informasi serta pembentuk opini publik.
f. Lobbying, public relations sering melakukan upaya persuasi dan negosiasi dengan berbagai pihak. Keahlian ini tampak dibutuhkan misalnya, pada saat terjadi krisis manajemen untuk mencapai kata sepakat diantara pihak yang bertikai.
g. Social investment, pekerjaan public relations untuk membuat program-program yang bermanfaat bagi kepentingan dan kesejahteraan sosial.









BAB III
Pembahasan

3.1. Program kampanye
Program kampanye yang diangkat ialah program kampanye wisata sejarah berbasis fun educations di Candi Sumberawan Malang, Jawa Timur. Candi Sumberawan merupakan salah satu candi yang tergolong ke dalam cagar budaya. Candi ini berlokasi atau terletak di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Dipilihnya candi ini karena Candi Sumberawan masih tergolong candi yang jarang dikunjungi masyarakat.
Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui keberadaan Candi Sumberawan ini, hal ini dibuktikan dengan survei yang dilakukan kepada 100 responden mengenai wisata candi. Candi di Malang yang paling banyak diketahui adalah candi Singosari dengan 59 kali disebutkan, kemudian diikuti dengan candi Badut 42 kali disebutkan, serta candi Sumberawan 14 kali disebutkan. Oleh karena itu, program kampanye ini dilakukan dengan tujuan menjadikan Candi Sumberawan sebagai objek wisata sejarah berbasis fun education di Malang melalui promosi kegiatan dan juga memberikan kesadaran pada masyarakat bahwa wisata sejarah merupakan wisata yang potensial melalui program kampanye ini.
3.2. Analisis Kampanye Berdasarkan PENCILS
a. Publication dan Publicity
Media digunakan sebagai alat publikasi, dalam kampanye ini digunakan media cetak dan media sosial seperti instagram. Penggunaan media ini bertujuan untuk mengenalkan dan menyebarluaskan informasi mengenai program kampanye yang telah dibuat.
b. Events
Dalam program kampanye ini event yang dibuat ialah launching dari digunakannya fasilitas-fasilitas baru yang telah ditambahkan di Candi Sumberawan.
c. News
Membuat tulisan-tulisan seperti newsletter dan press release yang akan menjadi bahan publisitas bagi media.
d. Community Involvement
Dalam pelaksanaan program kampanye ini masyarakat sekitar juga turut dilibatkan, selain bertujuan untuk menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat, hal ini juga bertujuan agar ada rasa memiliki dari masyarakat sehingga lingkungan dan fasilitas-fasilitas yang ditambahkan tetap terjaga.
Selain masyarakat, komunitas hammock juga turut dilibatkan berhubungan dengan ditambahkannya fasilitas hammock di Candi Sumberawan.
e. Identity-Media
Dalam pekerjaan public relations, sangat penting bagi public relations untuk menjaga hubungan yang baik dengan media, karena media yang memberikan publisitas. Kampanye ini berencana untuk menjalin hubungan kerjasama dengan beberapa media, diantaranya Radio MFM, Radio Tidar Sakti, Radio Elfara, Radio Kalimaya Bhaskara, Malang TV, Batu TV, Radar Malang dan Malang Post
f. Lobbying
Upaya persuasi dan negoisasi telah dilakukan dengan pihak Perhutani untuk mengurus ijin dilakukannya penambahan fasilitas di Candi Sumberawan, pihak sponsor yang akan membantu masalah pendanaan dan media partner yang akan membantu dalam masalah publisitas.
g. Social Investment
Kampanye ini bertujuan untuk mengenalkan Candi Sumberawan kepada masyarakat. Selain untuk mengenalkan, kampanye ini juga membantu kelestarian lingkungan disekitar candi dengan adanya penambahan fasilitas dan taman-taman bunga. Dengan menambahkan fasilitas-fasilitas itu pula, diharapkan kampanye ini dapat meningkatkan jumlah pengunjung yang berkunjung ke Candi Sumberawan.




Daftar Pustaka
Ardianto, F. (2011). Handbook of Public Relations: Pengantar Komprehensif. Jakarta: Simbiosa Rekatama Media.
Kriyantono, R. (2008). Public Relations Writing: Teknik Produksi Media Public Relations dan Publisitas Korporat. Jakarta: Prenada Media Group.






















Kamis, 16 Maret 2017

Teori Co-orientations

Teori Co-orientation of Public Relations
(Studi Kasus Kebijakan Kendaraan Ganjil-Genap di Jakarta)
Disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori-teori Public Relations


Disusun oleh :
Renitha Arma Sari 155120201111017
Adeliena Noor Sayyida 155120207111001

Peminatan Public Relations 
Ilmu Komunikasi
Universitas Brawijaya

Teori Co-orientations



BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Deskripsi Kasus
Sistem ganjil-genap yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diterapkan sebagai pengganti dari sistem 3-in-1 yang telah dihapus sejak April 2016 lalu. Dihapusnya sistem 3-in-1 tersebut dikarenakan Gubernur DKI Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama tidak setuju dengan praktik joki yang mengeksploitasi anak-anak.
Sistem ganjil-genap ini menerapkan kendaraan dengan nomor plat ganjil beroperasi pada tanggal ganjil dan kendaraan dengan nomor plat genap pada tanggal genap. Adapun penentuan ganjil genap nomor kendaraan adalah dengan melihat angka terakhir nomor polisi kendaraan. Angka nol (0) dianggap genap.
Sistem ini diterapkan untuk sementara, karena pembatasan lalu lintas ganjil-genap ini merupakan kebijakan transisi menjelang sistem penerapan electronic road pricing (ERP) yang membutuhkan waktu untuk penyediaan dan pembangunan infrastrukturnya.
Sebelum menerapkannya dengan resmi, Pemprov DKI dan Polda Metro Jaya pertama-tama melakukan uji coba dan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi sistem ganjil-genap dilaksanakan pada tanggal 28 Juni hingga 26 Juli 2016, uji coba dilaksanakan pada tanggal 27 Juli hingga 26 Agustus 2016 dan akan resmi diberlakukan apabila uji coba berhasil pada tanggal 30 Agustus 2016.
Pelanggaran terhadap sistem ini dikenakan sanksi pembayaran denda maksimal Rp.500.000. Menurut Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Syamsul Bahri, denda bisa saja dikurangi atau bahkan dihapus, sesuai dengan putusan pengadilan.

1.2. Permasalahan
Dengan diberlakukannya sistem ganjil-genap, warga ibu kota tidak dapat lagi dengan leluasa untuk melewati jalan yang memberlakukan sistem ganjil-genap. Ada warga yang menaati namun banyak pula warga yang mengeluh dan merasa keberatan akan kebijakan ini.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Co-orientation
Menurut Taylor (2009 dikutip dari Kriyantono, 2014) teori co-orientation merupakan teori yang digagas oleh Theodore M. Newcomb pada 1953 yang membahas komunikasi dari disiplin psikologi sosial, yaitu berangkat dari pemikiran Newcomb bahwa komunikasi adalah proses orientasi antara individu.
Co-orientation terjadi ketika dua atau lebih individu secara bersama-sama diorientasikan pada satu sama lain dan secara simultan menghubungkan individu tersebut melalui kepentingan yang sama (Broom, 2005 dikutip dari Kriyantono, 2014). Sederhananya co-orientation terjadi apabila dua orang individu atau lebih berorientasi satu sama lain untuk membahas seputar isu atau masalah tertentu.
Kriyantono (2014) menyebutkan dalam teori co-orientation komunikasi dianggap sebagai alat individu untuk menyampaikan orientasinya terhadap suatu objek di lingkungannya. Interaksi sosial, termasuk sistem digunakan sebagai kekuatan untuk mencapai keseimbangan antarpartisipan yang terlibat di dalamnya. Konflik akan terjadi apabila ada perubahan dalam interaksi dan sistem tersebut yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan. Selain itu konflik bisa terjadi karena masing-masing individu memiliki sudut pandang yang berebeda.
Penjelasan ini disederhanakan dalam model co-orientation yang disebut model A-B-X Newcomb

Model di atas terdiri dari dua komunikator, A dan B, beserta orientasi masing-masing terhadap suatu objek (X). Setiap komunikator mempunyai orientasi yang simultan terhadap masing-masing komunikator dan juga objek (Kriyantono, 2014).
Dari model di atas, Newcomb mengidentifikasi empat komponen dasar hubungan sistemik ini, yaitu :
1. Orientasi (sikap) A terhadap X
2. Ketertarikan A pada B
3. Orientasi (sikap) B terhadap X
4. Ketertarikan B pada A
Contoh teori A-B-X dalam kehidupan sehari-hari adalah A menyukai B namun tidak menyukai presiden X. B juga menyukai A namun tidak setuju mengenai ketidaksukaan A pada presiden X. A dihadapkan pada inkonsistensi internal yaitu “mengapa saya harus menyukai seseorang yang tidak sama pemikirannya dengan saya”. A memiliki beberapa pilihan yaitu memilih untuk mempersuasi B agar sama-sama tidak menyukai presiden X dan kemudian tercapainya keseimbangan bahwa A dan B sama-sama tidak menyukai presiden X, atau apabila B  menolak ajakan si A, A harus mengubah sikapnya terhadap B atau mengubah pandangannya terhadap presiden X agar menjadi lebih baik.
Dari contoh di atas sesuai dengan Vercic & Vercic (2007 dalam Kriyantono, 2014) yang menjelaskan bahwa teori co-orientation menjelaskan individu akan mengubah sikapnya dalam berhubungan dengan individu lain. Dengan kata lain menyesuaikan dirinya dengan orang lain dengan tujuan agar tercapai keseimbangan psikologis. Menurut Littlejohn (2009) masing-masing individu menilai suatu isu atau masalah dengan sudut pandang yang berbeda karena manusia memiliki bidang masalah yang berbeda dan minat yang berbeda juga. Keseimbangan psikologis dapat dirasakan apabila terjadi kekonsistenan sikap secara bersama dalam suatu interaksi.
2.2 Teori co-orientation dalam Praktik Public Relations
Teori ini dikembangkan oleh McLeod & Chaffee pada 1973,dengan menciptakan model co-orientation yang juga untuk komunikasi interpersonal (Kutzschenbach & Bronn, 2006; Vercic & Vercic, 2007 dikutip dari Kriyantono, 2014). Model McLeod & Chaffee ini berasumsi bahwa masing-masing komunikator memiliki dua komponen kognisi yaitu persepsi diri (self-perception) terhadap objek komunikasi dan orang lain (other-perception). Interaksi dari kognisi ini kemudian menghasilkan lima jenis relasi, seperti yang digambarkan dalam gambar di bawah.

Teori co-orientation diadaptasi dalam kajian public relations dengan dimunculkannya model co-orientation of public relations oleh Broom pada 1977 dan Grunig & Hunt pada 1984 (Broom, 2005; Grunig & Hunt, 1984; Kutzschenbach & Bronn, 2006; Vercic & Vercic, 2007 dikutip dari Kriyantono,2014).
Model co-orientation of public relations menganggap public relations akan berjalan efektif apabila terjadi akurasi dalam interaksi antara organisasi dan publiknya, yaitu pandangan organisasi mendekati atau sama persis dengan pandangan publik terhadap organisasi terkait suatu objek atau isu
Model Broom dan Grunig & Hunt menggunakan kelima relasi dari McLeod & Chaffee dalam interaksi organisasi dan publik. Kelima relasi ini menghasilkan tiga situasi komunikasi yang mewarnai interaksi organisasi dan publiknya terhadap suatu isu yaitu kongruen (sebangun); agreement (persetujuan); dan accuracy (ketepatan). Menurut Broom (2005 dikutip dalam Kriyantono 2014) model co-orientation of public relations melihat bagaimana organisasi dan publik berperilaku sesuai dengan pandangan dan tujuan satu sama lain megenai suatu isu yang sama-sama mereka perhatikan.
Kongruen (sebangun) memiliki dua aspek. Pertama, merupakan tingkat kesamaan antara pemahaman organisasi mengenai suatu isu dan persepsi organisasi terhadap pemahaman publik mengenai suatu isu. Kedua, merupakan tingkat kesamaan antara pemahaman organisasi pada suatu isu dan persepsi publik terhadap perspesi organisasi pada suatu isu. Agreement (persetujuan) diartikan sebagai tingkat keterpaduan (co-orientation) antara pemahaman organisasi dan publik pada isu yang sama. Persetujuan (agreement) didapat dengan mengukur kesesuaian dan ketidaksesuaian pandangan organisasi dan publiknya terhadap suatu isu (Broom, 2015 dikutip dari Kriyantono, 2014). Variabel terakhir, akurasi yaitu kesamaan antara pemahaman organisasi mengenai sebuah isu dengan persepsi publik terhadap pandangan organisasi mengenai isu tersebut. Atau menurut Seltzer (2006) akurasi adalah keadaan saat organisasi dapat memperkirakan dengan benar viewpoint dari publik dan juga sebaliknya.
Tugas seorang public relations dalam teori co-orientation adalah menjalin hubungan baik atau relasi dengan publiknya agar tercapai kesamaan pemahaman mengenai suatu isu. Menurut Kriyantono (2014) public relations harus menerapkan manajemen isu demi mengetahui opini atau pandangan publik terhadap organisasi termasuk mendeteksi isu-isu yang terjadi terkait aktivitas organisasi. Upaya public relations ini disebut monitoring lingkungan atau tracking isu, atau menurut Broom (2005 dari Kriyantono, 2014) disebut sebagai ”gap-analysis”. Hasil survey ini kemudian digunakan untuk melihat orientasi dan posisi organisasi terhadap suatu isu dan melihat orientasi dan posisi publik terhadap suatu isu. Apabila tidak ada gap, maka dapat diartikan bahwa opini dan perilaku publik konsisten dengan pandangan organisasi terhadap publik itu.
Dalam Kriyantono (2014) disebutkan pemikiran lain dari McLeod & Chaffee yang juga diadaptasi oleh Broom dan Grunig & Hunt yaitu perlunya pembedaan antara persetujuan aktual (actual agreement) dan persetujuan persepsi (perceptions of agreement). Persetujuan aktual adalah persepsi organisasi atau publik pada isu. Persetujuan persepsi adalah persepsi organisasi atau publik tentang apa yang dipikirkan pihak lain pada isu yang sama.
Grunig & Hunt berpendapat bahwa public relations berusaha mengubah orientasi publik agar sejalan dengan keinginan organisasi dan pada sisi yang lain organisasi dan public sama-sama mengubah orientasi untuk menemukan konsensus. Keterpaduan ini yang kemudian disebut dengan “co-orientation” (Kriyantono, 2014)
Empat situasi co-orientation dalam interaksi antara organisasi dan publik menurut Scheff (1967 dikutip dalam Kriyantono, 2014) :
1. Monolitik konsensus, artinya terjadi pesetujuan kognisi dan evaluasi antara organisasi dan publik mengenai suatu isu.
2. Konflik yang salah (false conflict), artinya  bahwa mereka memiliki persepsi yang sama mengenai suatu isu tapi menganggap diri mereka memiliki persepsi yang berbeda.
3. Disensus, artinya kedua pihak sama-sama mengetahui bahwa mereka tidak memiliki persepsi yang sama mengenai suatu isu.



BAB III
ANALISIS KASUS

3.1 Strategi PR Pemerintah
Dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sebelum menerapkannya dengan resmi, Pemprov DKI dan Polda Metro Jaya pertama-tama melakukan uji coba dan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi sistem ganjil-genap dilaksanakan pada tanggal 28 Juni hingga 26 Juli 2016 dan uji coba dilaksanakan pada tanggal 27 Juli hingga 26 Agustus 2016.
3.2 Dampak Strategi
Respon dari masyarakat berbeda-beda mengenai sosialisasi yang telah dilakukan pemerintah, ada yang pemikirannya terbuka dengan menerima kebijakan secara langsung, ada yang keberatan karena dianggap mengganggu aktifitas.
3.3 Kaitan Kasus Dengan Teori Co-Orientation
Sebagian besar kasus yang terjadi antara organisasi dan publik adalah pertemuan dua sudut pandang yang berbeda, demikian pula yang terjadi dalam kebijakan pemerintah untuk memberlakukan aturan ganjil-genap untuk kendaraan bermotor di DKI Jakarta.
Seperti perbedaan sudut pandang yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat Jakarta. Concern pemerintah dan masyarakat Jakarta adalah sama yaitu mengenai masalah kemacetan jalan yang tidak kunjung usai. Demi mengatasi kemacetan ini, pemerintah memberlakukan aturan kendaraan ganjil-genap pada hari-hari tertentu karena dianggap mampu mengurangi volume kendaraan yang berlalu-lalang di jalan setiap harinya. Namun, masyarakat memiliki pandangan yang berbeda mengenai kebijakan baru pemerintah ini, masyarakat menganggap aturan ganjil-genap ini justru mempersulit mereka dalam berktifitas dikarenakan ada jalan-jalan tertentu yang tidak bisa mereka lalui pada hari-hari tertentu. Masing-masing baik organisasi maupun masyarakat menilai kebijakan dengan cara yang berbeda. Orientasi yang beragam terhadap suatu masalah ini sangat mungkin terjadi karena setiap manusia memiliki bidang masalah dan minat yang berbeda-beda mengenai suatu hal.
Dalam kasus ini terlihat adanya ketidakseimbangan psikologis antara pemerintah dan masyarakat ibukota karena tidak adanya kekonsistenan sikap secara bersama dalam suatu interaksi.
Dikutip dari Littlejohn  2009, ketika dua individu berselisih paham, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan agar menciptakan pemaknaan yang berkaitan: (1) mereka harus mendapatkan persetujuan tentang fakta-fakta yang mereka hadapi bersama; (2) mereka harus menyetujui siapa yang akan melakukan sesuatu pada fakta-fakta ini; (3) mereka harus menciptakan sebuah konteks atau dasar untuk interaksi yang terus berjalan. Ketiga hasil ini selalu penting untuk tritunggal A-B-X dalam sebuah organisasi.
Seperti dalam perbedaan persepsi antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan warga Jakarta ini. Kedua pihak setuju bahwa diperlukan kebijakan untuk mengurangi kemacetan di Jakarta yang semakin parah, terlebih setelah dihapusnya sistem 3-in-1. Hal ini sesuai dengan menciptakan pemaknaan yang pertama. Pada hal ini co-orientations persepsi antara publik dengan organisasi mencapai persetujuan.
Setelah mendapat pemaknaan yang sama, diperlukan keputusan antara publik dan organisasi perihal siapa yang melakukan tindakan padaisu tersebut. Warga Jakarta setuju bahwa yang harus mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi suatu permasalahan ialah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Oleh karena itu, untuk mengatasi kemacetan di ibu kota, Pemprov DKI mengeluarkan kebijakan sistem ganjil-genap yang mengatur penggunaan kendaraan bermotor.
Dengan menciptakan kebijakan tersebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menciptakan sebuah konteks atau dasar untuk interaksi yang terus berjalan. Pemerintah memiliki otoritas untuk membuat perubahan ke arah yang lebih baik. Pemerintah juga dapat melakukan monitoring lingkungan atau tracking isu yakni melakukan survei opini publik. Hasil survei ini dapat digunakan untuk menentukan perbedaan antara orientasi organisasi dan publik terhadap isu tersebut, agar jika terjadi perbedaan yang besar  pemerintah dapat dengan cepat mengambil tindakan .
Jika tiga langkah tersebut dapat berjalan dengan baik maka akan tercipta co-orientation positif antara pemerintah dan publiknya.  Dengan terciptanya co-orientations positif dua pihak dapat berubah menjadi semacam ‘tim’.



DAFTAR PUSTAKA
Admin.2016. Yang perlu kamu tahu tentang sistem ganjil-genap jakarta. Diakses dari http://www.rappler.com/indonesia/137762-sistem-ganjil-genap-jakarta pada 16/03/2017.
Kriyantono, R. (2014). Teori public relations pespektif barat & lokal : Aplikasi penelitian dan praktik. Jakarta : Prenada Media.

Littlejohn, S.W. & Foss, K. A. (2009). Teori komunikasi theories of human communication (9th ed.). Jakarta: Salemba Humanika.

Pratama, A. M. 2016. Selasa 30 Agustus, Ganjil Genap Resmi Berlaku di Jakarta. Diakses dari http://megapolitan.kompas.com/read/2016/08/29/20143471/selasa.30.agustus.ganjil.genap.resmi.berlaku.di.jakarta. Pada 16/03/2017.